Jangan dibaca
...
.
Tidak aneh jika mendapati dinding yang penuh coretan tangan iseng, meski
di dinding itu sudah ada sebuah peringatan “Dilarang coret-coret”.
Semakin dilarang semakin penuh coretannya. Pernah ada anak sekolah yang
mencoret bis kota dengan spidol dengan alasan, “Saya cuma menambah
coretan yang sudah ada kok…” sambil menunjuk tulisan “dilarang mencoret”
yang dianggapnya sebagai coretan pertama.
Kalau ada pojok jalanan, sudut pasar atau tempat-tempat yang dianggap
strategis lainnya yang beraroma tak sedap alias bau pesing, selalu saja
ada peringatan “Dilarang kencing di sini”. Bukan karena sebelumnya
tempat itu selalu jadi tempat aman untuk buang hajat, melainkan memang
sampai detik ini masih selalu dipakai oleh mereka yang kesulitan
menemukan toilet yang sebenarnya.
Tidak berbeda ketika memberikan larangan kepada anak-anak. Misalnya,
“jangan disentuh” pasti disentuh, atau “jangan berisik” justru gaduhnya
minta ampun. Dibilang jangan berlari, dia berlari, jangan masuk eh sudah
di dalam. Suruh berdiri, dia duduk, begitu juga sebaliknya. Di Mall,
seorang ibu yang berpesan “jangan kemana-mana ya nak, diam di sini”,
sesaat kemudian kebingungan mencari anaknya ke seluruh sudut Mall.
Secara psikologis, kalimat “jangan”, “tidak boleh” atau “dilarang”
mengandung rasa ingin tahu. Anak-anak maupun orang dewasa memiliki
kecenderungan yang sama, jika dilarang lantas bertanya, “kenapa?”, maka
reaksi selanjutnya adalah melakukan apa-apa yang “tidak boleh” dan
“dilarang” itu untuk mengetahui sebab apa sesuatu itu dilarang.
Seperti tulisan ini, meskipun judulnya “Jangan Dibaca”, Anda membaca
juga kan ? Begitulah kita, selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
Tidak masalah, sepanjang perasaan itu mampu diarahkan kepada hal-hal
yang positif. (gaw).
hahahahahahahahaha
salam farmasi dari orang yang selalu mencintai farmasi dalam hidup nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar